Monthly Archives: Oktober 2014

Pesan Membaca di Film The Book of Eli


Tjatatan Must Prast

Kendatipun jalan ceritanya agak naïf, film The Book of Eli membawa pesan tentang pentingnya membaca. Film yang dirilis pada 2009 dan baru tayang tahun 2010 di Indonesia ini dibintangi aktor kawakan Denzel Washington.

Diceritakan bahwa terjadi perang besar yang membawa kehancuran luar biasa di bumi. Salah seorang yang berhasil selamat dari perang dahsyat tersebut adalah Eli (Denzel Washington). Manusia seakan harus memulai peradaban dari nol lagi.

Akibat perang besar itu, kitab Bibel (Injil) ikut dimusnahkan. Satu-satunya Bibel yang ada hanya milik Eli. Ia mendapat ilham untuk membawa kitab tersebut ke suatu tempat di barat. Sebab, kitab inilah yang dinilai mampu membangun kembali peradaban pasca kehancuran bumi akibat perang.

Untuk itu, Eli menempuh perjalanan selama 30 musim yang sangat berat. Dalam sebuah kesempatan, ia tiba di kota kecil di tengah gurun yang menyisakan porak-poranda pascaperang. Di sana ia bertemu Carnegie, tokoh antagonis yang terobsesi mencari sebuah buku misterius yang mampu membawa ke peradaban maju kembali. Read the rest of this entry

Kelas Literasi PPG Unesa


Tjatatan Must Prast

Meski sudah memasuki bulan Oktober, belum ada tanda-tanda hujan di langit Surabaya. Tak heran jika perjalanan dengan sepeda motor ke PPG Unesa di kawasan Lidah Wetan Jumat siang itu (24/10) serasa menyusuri Sahara. Terik surya seakan membakar ubun-ubun kepala.

Namun, begitu sampai di lokasi, neraka dunia lenyap seketika. Hawa sejuk dari pendingin ruangan plus suasana nyaman di gedung itu mengembalikan ketenangan batin. Seolah di rumah sendiri. Apalagi, gedung sembilan lantai PPG Unesa dihuni banyak Srikandi, yakni para mahasiswi tangguh PPG yang pernah bertugas di Sumba Timur, Aceh Singkil, Talaud, hingga Maluku Barat Daya.

Selepas diskusi di Unitomo dan membaca literatur-literatur milik USAID Prioritas, saya memang langsung ke PPG Unesa untuk menyambangi kelas literasi di sana. Kelas literasi ini diinisiasi oleh Direktur PPG Unesa Prof Luthfiyah Nurlaela. Read the rest of this entry

Mengapa Tak Ada Iklan Membaca?


Tjatatan Must Prast

Klub Baca Buku IGI

Iklan layanan masyarakat tentang korban rokok yang diluncurkan Menkes Nafsiah Mboi pada 10 Oktober lalu sangat mengerikan. Judulnya Berhentilah Menikmati Rokok sebelum Rokok Menikmatimu. Data WHO tahun 2014 memang merilis bahwa rokok membunuh enam juta jiwa per tahun. Sekitar 600 ribu di antaranya ialah perokok pasif.

Kembali ke iklan rokok tersebut, isinya adalah testimoni dari seorang laki-laki tua yang tenggorokannya berlubang setelah dioperasi. Penyebabnya kanker. Sungguh iklan ini sangat mengerikan. Apalagi, Kementerian Kesehatan gencar memasang iklan tersebut di berbagai stasiun televisi.

Bertolak dari hal ini, semestinya kementerian yang mengurusi pendidikan juga bisa membuat iklan bernada peringatan keras seperti itu. Mengutip tulisan Budi Darma dalam buku Membangun Budaya Literasi (Unesa Press, Oktober 2014), eksistensi dan jatidiri bangsa untuk menuju perabadan yang maju dapat dibangun melalui literasi.

Bicara literasi tentu tak bisa dilepaskan dari budaya membaca di masyarakat. Selain masuk ke pintu kurikulum, harus dibuat iklan layanan masyarakat yang berisi ancaman bencana besar apabila budaya membaca bangsa kita lesu. Misalnya, dijajah secara ekonomi, politik, budaya, dan aneka penjajahan lain yang membawa kehancuran jatidiri bangsa kita.

Ini menjadi sangat penting melebihi tol laut yang bakal digeber pemerintah. Bayangkan, di Indonesia masih ada penyandang buta aksara. Ketika suara-suara vokal tentang urgensi pemerataan pendidikan, seharusnya pemberantasan buta huruf masuk daftar teratas untuk segera ditangani.

Dengan demikian, apabila iklan tentang membaca itu diluncurkan ke publik, pesannya bisa diserap seluruh lapisan masyarakat. Namun, pemerintah juga harus mendukung upaya ini dengan program penunjang seperti buku murah/gratis, pendidikan terjangkau, sarana prasarana teknologi yang memadai dan merata, serta SDM pendidik yang berkualitas.

Di era persaingan global seperti saat ini, kita tentu tidak berharap bangsa Indonesia kian kalah bersaing karena tidak memiliki fondasi budaya literasi yang kuat. Karena itu, gaung budaya membaca harus terus dikumandangkan. Jika bangsa ini tak ingin mati karena mengidap virus aliterasi, tak ada alasan untuk mengabaikan budaya membaca. Kalau testimoni rokok diiklankan sedemikian gencar, hal serupa kiranya layak dilakukan untuk budaya literasi. Membaca atau mati!

Unitomo, 23 Oktober 2014

Dapat Pengaduan karena Tulisannya Dikutip


Catatan Eko Prasetyo

editor.eko@gmail.com

Pada 13 Oktober lalu saya mendapat e-mail dari editor Penerbit Indeks yang mendapat pengaduan dari Riza Fitroh Kurniasih. Ia adalah mahasiswa FKIP jurusan biologi UMS dan aktif di Komunitas 3 Pena Buku (K3PB).

Fitroh pernah menulis resensi buku saya yang berjudul Kekuatan Pena (Indeks, 2011). Ia mengunggah resensi yang berjudul Sebuah Alasan Mengapa (Kita) Harus Menulis itu di blog pribadinya. Sumbernya: http://retakankata.com/2012/09/12/sebuah-alasan-mengapa-kita-harus-menulis/.

Saya sebenarnya berterima kasih karena buku saya diresensi oleh Fitroh. Karena itu, saya menukil artikelnya tersebut ke blog saya. Ini sumbernya: https://mustprast.wordpress.com/buku/kekuatan-pena/sebuah-alasan-mengapa-kita-harus-menulis/. Di situ saya mencantumkan nama peresensinya (Fitroh), sumbernya (retakankata.com), dan profesi peresensinya (mahasiswa FKIP biologi UMS).

Fitroh rupanya tidak terima tulisannya saya cantumkan di blog saya. Ia merasa bahwa saya melanggar sehingga mengadu kepada Penerbit Indeks di Jakarta. Read the rest of this entry