Eureka Academia (2)

Setelah Pelatihan, lalu Apa?

Catatan Eko Prasetyo

head of training divison Eureka Academia

Cara terbaik belajar menulis adalah menulis, menulis, menulis.”

Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos

***

Aula Darul Arqom di RS Siti Khodidjah, Jalan Raya Sepanjang, Taman, Sidoarjo, sore itu dipenuhi sekitar 60 orang. Mereka terdiri atas pejabat/pengurus Yayasan Sekolah Muhammadiyah, para kepala sekolah dan guru SD, SMP, SMA/SMK Muhammadiyah dari Kecamatan Taman, Sidoarjo.

Tim Eureka Academia memang dijadwalkan mengajarkan ekstrakurikuler menulis untuk siswa di dua SD Muhammadiyah di kawasan Sepanjang. Namun, ternyata para kepala sekolah dan guru-guru di bawah Muhammadiyah tersebut ingin mengetahui seperti apa kurikulum, model pembelajaran, dan cara praktis menulis yang diterapkan oleh Eureka Academia.

Kegiatan itu dimulai pukul 14.00 sampai setelah ashar. Setelah saya paparkan mengenai alasan, manfaat, dan pentingnya menulis, para bapak dan ibu guru tersebut langsung diajak untuk mempraktikkan salah satu model menulis tingkat paling dasar buat siswa SD. Kegiatan ini dipandu langsung oleh Direktur Eureka Academia Satria Dharma.

Masing-masing diberi lembar kertas yang berisi salah satu model menulis berjenjang tingkat dasar. Ada sepuluh topik dengan target pembelajaran masing-masing.

Topik pertama adalah tentang saya. Targetnya, si anak bisa menuliskan informasi mengenai dirinya. Mulai nama, umur, keadaan fisik, tempat tinggal, sekolah, makanan favorit, sampai hobi.

Hal ini dimulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun dalam tiap lembar yang disediakan. Pertanyaan tersebut menjadi panduan bagi tiap siswa untuk merangkai jawabannya menjadi kalimat. Dari topik pertama tersebut, peserta siswa diharapkan bisa menjabarkannya dalam empat sampai lima paragraf.

Suasana langsung heboh karena siang itu yang mengikuti kelas Eureka Academia adalah para guru. Apalagi, ditambah dengan humor-humor yang dilontarkan Satria. Dwi, salah seorang guru, mengatakan bahwa model ini ternyata mudah dan menarik bagi siswa. ”Kegiatan menulis ternyata sangat menyenangkan dengan model seperti ini. Mudah,” ujarnya.

Tidak hanya itu, setelah berhasil membuat sebuah karangan tadi, peserta diminta membacakannya keras-keras agar bisa didengar oleh peserta lainnya. Akhirnya, ketahuan apa hobinya, makanan kesukaannya, sampai pelajaran favoritnya.

Pengajaran serta bimbingan menulis secara intensif, bertahap, dan terstruktur inilah yang menjadi keunggulan Eureka Academia.

Eureka Academia sejak awal memang menerapkan kurikulum yang sudah diterapkan di negara-negara maju sehingga menjamin siswa menulis dengan mudah dan terampil. Tenaga pengajarnya pun para penulis profesional yang juga akrab dengan dunia pendidikan anak-anak.

Saya menginginkan bahwa panduan, pengajaran, pelatihan, dan pembelajaran menulis ini bisa terus dikembangkan. Dan kami memulai dari akarnya, mendidik dan membiasakan anak-anak bangsa untuk berani menumpahkan gagasan, imajinasi, dan karya mereka. Bukan sekadar melatih, kemudian tidak ada kegiatan follow up.

Tentu saja visi kami adalah mendukung terciptanya budaya membaca dan menulis secara masif di Indonesia. Sadar bahwa itu tidak mudah, kami menerapkan pola pembiasaan ini sejak dini.

Kami juga menginginkan karya-karya anak didik tersebut dibukukan. Bukan sekadar menjadi portofolio (kebanggaan) buat mereka, tetapi juga menginspirasi anak-anak lainnya untuk mau mengikuti jejak kawan-kawannya yang sudah bisa menelurkan karya.

Hanya itu? Tidak. Sebab, sejatinya dengan menuangkan kreativitas dan keceriaannya, mereka sesungguhnya turut membangun sebuah peradaban bangsa.

 Karena itu, sore sebelum acara di Darul Arqom ditutup, saya mengajak para guru Muhammadiyah tersebut untuk mengarang bebas. Membagikan pengalaman-pengalaman mereka, baik yang unik, gembira, maupun temuan mengejutkan, saat mengajar. Bebas tanpa dibatasi jumlah kata dan karakter. Deadline-nya satu bulan.

Hanya menulis bebas? ”Tidak. Karya Anda semua akan dibukukan dan saya siap mendampingi hingga karya tersebut layak dibaca dan diterbitkan,” jawab saya.

Tepuk riuh bergema. Saya yakin, di antara bapak dan ibu guru tadi, ada yang belum pernah membuat buku. Jika mimpi menghasilkan buku itu terwujud, tentu saja perasaan pertama yang terjadi adalah kegembiraan. Kebanggaan. Seperti menemukan gairah baru. Inilah yang nantinya juga dirasakan oleh para peserta siswa SD.

Jika itu terjadi, kami layak untuk bergembira sambil berteriak: Eureka!

Sidoarjo, 22 November 2012

Tinggalkan komentar