Kata Pengantar Penulis

Menulis puisi itu mungkin lebih sulit dibandingkan membuat esai atau artikel opini. Sebab, imajinasi banyak dilibatkan dalam proses kreatif sebuah puisi. Selain berbekal pengetahuan dan pengalaman, menulis puisi sudah tentu amat menguras energi kreativitas. Si penyair dituntut untuk lebih peka terhadap satu kata sekalipun.

Maka, tidak heran jika produknya menghasilkan bunyi dalam kesatuan kata dan kalimat yang terdengar indah serta memberikan kesan tertentu. Puisi itu tidak sekadar kumpulan ide yang disusun sedemikian rupa menjadi sebuah karya tulis. Lebih dari, puisi juga merupakan produk kontemplasi.

Namun, Rumah Kartu ini bukan hanya hasil perenungan atau kontemplasi saya semata. Bisa dibilang Rumah Kartu ini juga merupakan hasil rangkuman terhadap beberapa peristiwa kecil yang terjadi di sekeliling kita. Semisal,kejadian ketika bahan bakar minyak (BBM) naik pada 2008 ataupun peristiwa terbakarnya gedung kuno yang legendaris di Surabaya: Balai Pemuda. Juga potret bagaimana sulitnya menemui lapangan kecil untuk sekadar bermain sepak bola di kota besar.

Kendati sadar bahwa menulis puisi itu tidak mudah, saya tak ingin kehilangan suatu momen yang saya anggap perlu didokumentasikan namun tidak membutuhkan tulisan yang panjang. Maka, puisi menjadi salah satu alternatif yang realistis. Memotret suatu peristiwa dalam bentuk puisi memang sangat menantang. Sebab, tidak mudah membuat suatu dokumentasi dengan begitu ringkas, padat, namun tetap indah untuk disimak, dibaca, dan diresapi.

Rumah Kartu ini merupakan impian terpendam saya. Ia menyisakan bayangan dari masa lalu, perjalanan hidup, dan cita-cita yang pernah terangkum dalam Antologi Mahabah, kumpulan puisi saya terdahulu.

Tidak melulu menyuarakan keprihatinan dan kritik sosial, ada kebahagiaan dan keceriaan yang juga ingin saya bagikan dalam Rumah Kartu ini. Yang dibungkus dalam bahasa paling universal: cinta!

Sedemikian universalnya, sehingga cinta itu tidak harus dinikmati sendiri. Maka, saya memungut kembali serpihan-serpihan puisi yang pernah di-posting di mailing list (milis) Keluarga Unesa dan Ikatan Guru Indonesia selama kurun 2008–2012 dalam satu buku kecil ini.

Buku ini secara khusus saya persembahkan sebagai kado ulang tahun istri saya tercinta, Ratih Damayanti, yang setia menemani perjalanan karir dan hidup saya selama ini. Namun, proses kreatif dan kritik sosial yang ada dalam buku ini tidak hanya ingin saya nikmati sendiri. Masyarakat juga berhak akan hal itu untuk sejenak melupakan kepenatan, berdamai dengan Sang Pencipta melalui bahasa paling universal: cinta!

 

 

 

Tinggalkan komentar