Eureka Academia (4)

Restorasi Meiji

Catatan Eko Prasetyo

Head of Training Division Eureka Academia

Hilal dan Arif kini berumur 11 tahun dan duduk di bangku kelas 5 sebuah SD negeri di Sidoarjo. Saya diminta orang tua mereka untuk memberikan bimbingan menulis. Sebelum itu, saya sempat mengunjungi sekolah Hilal dan Arif. Layaknya bangunan SD negeri pada umumnya, gedungnya sederhana.

Anak-anak kelas atas (4, 5, 6) lebih suka menghabiskan jam istirahat di lapangan depan gedung sekolah. Di sana mereka bermain sepak bola sepuasnya. Berlari mengejar bola, berebut mendapatkannya, bermain tanpa strategi, dan berusaha mencetak gol. Riang. Peluh bercucuran, sedangkan seragam putih tampak lusuh disapu debu.

Sekilas saya perhatikan bahwa ruang perpustakaan di sekolah itu kurang memadai. Maksudnya, koleksi buku bacaannya tidak bisa dikatakan ideal. Sedikit. Itu pun hanya buku-buku lawas, buku pelajaran, dan majalah usang. Saya kira, wajar jika akhirnya anak-anak tersebut lebih suka bermain di lapangan ketimbang membaca di perpustakaan pada saat jam istirahat.

Kegiatan tersebut adalah bagian dari survei yang saya lakukan untuk memberikan porsi yang tepat bagi kebutuhan Hilal dan Arif saat saya dampingi nanti. Selanjutnya, di rumah saya menyiapkan bahan-bahan latihan dan bacaan anak yang saya nilai pas buat keduanya.

Melatih anak menulis itu tidak mudah. Apalagi jika kegiatan ini masih terbilang dunia baru buat mereka. Dibutuhkan ketelatenan, kesabaran, dan kecerdikan untuk memahami apa yang mereka inginkan. Saya harus bisa memasuki dunia mereka, memahami mereka, menjadi sahabat yang hangat buat mereka.

Meskipun tugas saya sebenarnya adalah melatih Hilal dan Arif menulis, saya tidak langsung menerapkan hal itu. Saya ingin keduanya merasa nyaman dulu sebelum belajar menulis. Sebab, aktivitas menulis itu pada dasarnya bukan hal yang mudah dilakukan. Apalagi jika suasana hati sedang tidak enak. Bagi anak-anak, perlu stimulus yang tepat agar mereka mampu menjaring ide-ide yang berkelebatan di sekitar dan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Maka, tak salah jika pemberian motivasi memegang peran penting sebelum memasuki tahap tersebut.

Saya membebaskan Hilal dan Arif memilih bacaan apa pun yang mereka sukai. Termasuk komik grafis. Kami saling bercerita, membicarakan tokoh protagonis dan antagonis di dalam buku yang dibaca. Keduanya bebas membaca buku-buku yang saya sediakan sesuka hati mereka.

Ajakan membaca ini merupakan tahap awal yang memang saya terapkan secara wajib. Sebab, saya tahu bahwa mereka tidak bisa mendapatkannya secara leluasa saat berada di sekolah. Dengan membaca buku-buku itu, saya menginginkan Hilal dan Arif bisa memiliki banyak ide yang dapat dituangkan ke lembar tulisan yang telah saya siapkan. Biasanya, sehabis membaca buku atau komik, keduanya saya minta untuk mengisi lembar tulisan tersebut dan menceritakan kembali isi buku yang menarik bagi mereka.

Mengutip pernyataan Asma Nadia, tidak mungkin seseorang bisa menjadi pengarang atau penulis kalau tidak suka membaca. Membaca itu seperti mengumpulkan memori. Semakin banyak membaca membuat kita seperti memiliki memori kolektif. Sehingga semakin banyak wawasan yang menjadi modal menulis. Inilah yang saya terapkan pada Hilal dan Arif.

Membaca itu juga berarti membuka diri terhadap ilmu. Hari itu saya bercerita kembali dengan bahasa sederhana kepada Hilal dan Arif tentang Restoraji Meiji.

Sebagai pemimpin yang sadar akan kebutuhan ilmu dan tradisinya, Meiji melakukan sebuah keputusan besar dalam sejarah bangsa Jepang. Untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, Meiji mengirimkan banyak warganya ke berbagai negara maju pada 1868. Begitu pulang ke Jepang, mereka berusaha mengembangkan sendiri ilmunya untuk kepentingan masyarakat Jepang. Hampir semua buku asing, termasuk karya Herbert Spencer, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Negeri Sakura itu pun melesat maju ketika mengubah dirinya menjadi masyarakat yang terbuka terhadap ilmu. Inilah yang kondang disebut sebagai Restorasi Meiji.

Semangat Restorasi Meiji inilah yang juga akan saya berikan kepada para siswa Eureka Academia. Kita tentu tidak ingin semakin tertinggal dengan bangsa lain. Untuk itu, kami ingin mengejar ketertinggalan itu dan maju bersama. Dari yang tidak bisa menulis menjadi bisa menulis. Kami akan berusaha menggapainya. Jika harapan ini terwujud, kami akan bergembira bersama sambil berteriak: Eureka!

Sidoarjo, 24 November 2012

Tinggalkan komentar