Monthly Archives: Juli 2014

Mudik (3)


Tjatatan Must Prast

Klub Baca Buku IGI

Kearifan lokal yang kental. Itulah yang saya dapati di Pujon, Kabupaten Malang. Sebelum bersilaturahmi ke mertua di Pekalongan, saya memang lebih dulu mudik ke Pujon. Melepas rindu ke bapak dan ibuk. Setelah bapak pensiun dan memutuskan pindah ke Pujon, saya adalah orang pertama yang mendukungnya, bukan warga RT 48 di perumahan tempat saya tinggal.

Hawanya yang masih sejuk sangat tepat untuk menghabiskan masa pensiun sembari bertani di tegalan. Di belakang rumah kami, pemandangannya ajib tiada tara. Barisan bukit hijau yang dikelilingi pohon-pohon ara dan sawah terasering menambah kedamaian. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? (QS Ar Rahman).

Setiap singgah ke Pujon, saya hampir pasti menyempatkan mikcu (minum susu sapi segar). Pujon memang merupakan salah satu sentra penghasil susu sapi terbaik di Kabupaten Malang selain Ngantang. Sebagian besar penjual susu sapi di Sidoarjo itu kulakannya ya di Pujon. Namun, di Sidoarjo, susu sapi yang dijual di kedai-kedai STMJ tidak murni lagi karena dicampuri santan. Read the rest of this entry

Mudik (2)


Tjatatan Must Prast

Klub Baca Buku IGI

Secara khusus, saya mesti berterima kasih kepada nyonya. Sebab, ia mampu mengubah saya dari pemuda katrok menjadi lebih dinamis. Semula, saya mengira bahwa ”surga” itu ada di Surabaya. Ternyata, saya melihat ”surga” yang lain, yakni Pekalongan.

Betul, di sinilah peran penting menikah dengan orang rantau dan manfaat mudik Lebaran. Dengan pulang kampung dalam momen Idul Fitri, cakrawala kita akan lebih terbuka. Mudik itu seni kehidupan. Karena itu, saya sebenarnya merasa kasihan kepada kawan-kawan yang mudiknya tak lebih dari 15 kilometer alias masih satu kota.

Kalau si suami berasal dari Surabaya dan istrinya sama-sama asli Surabaya, sampai kapan pun mereka akan membeli batik lebih mahal dua kali lipat ketimbang saya. Pasalnya, harga batik Pekalongan yang dijual di mal-mal di Kota Pahlawan itu memang sudah dua atau tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan harga aslinya di Kota Batik.

Jika si istri asli Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, dan suaminya asal Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, entah kapan mereka bisa membedakan batik Kota Pekalongan dengan batik Kabupaten Pekalongan. Mesakke. Apa bedanya sama saya.

Satu lagi yang bikin saya jatuh hati pada Pekalongan adalah bahasa ngapak. Saya merupakan arek Suroboyo yang besar di Bekasi dari orang tua yang asli Jawa Timur. Maka, ketika saya mendapat jodoh cah Pekalongan, ini menjadi shock culture.

Mertua saya asli Tegal sehingga saya harus berjuang keras untuk mendalami dan memahami bahasa ngapak dialeg Tegal. Di kemudian hari saya baru tahu bahwa bahasa ngapak halus untuk menyebut kulo (saya) adalah nyong’e. Dengan pengucapan khas yang mirip leher tercekik, terbayang sudah bagaimana saya terpingkal-pingkal kalau mendengarkannya.

Dulu, saat awal menaksir nyonya, saya langsung sadar bahwa hal pertama yang mesti saya lakukan untuk menaklukkan hatinya adalah kuasai bahasanya! Maka, kalimat sakti yang saya persiapkan buat nyonya adalah gombalan ala Tegal. Kira-kira bunyinya mirip kalimat ini: Haji Mujidin bae wis sadar. Masa koe ke ora sadar nek nyong tresna karo koe seh.

Sidoarjo, 26 Juli 2014

Mudik (1)


Tjatatan Must Prast

Klub Baca Buku IGI

Waktu berputar cepat sekali. Rasanya baru kemarin saya berlebaran ke Pekalongan, tahu-tahu kini sudah musim mudik kembali. Enggan sebenarnya. Sebab, kondisi kaki kanan saya masih sakit dan terus menjalani proses pemulihan.

Namun, seperti kata pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha: Yen ora melu anglakoni, ora keduman. Saya mengartikannya: Jika tidak ikut mudik, tidak kebagian. Kebagian apa? Ya macam-macam, bisa opor ayam, ketupat lodeh, ataupun kopi tahlil.

Berkunjung ke Pekalongan itu sungguh bikin rindu. Kota pesisir yang dikenal dengan perajin batiknya ini memiliki keramahan yang luar biasa. Warganya terbiasa dengan budaya sapa dan senyum. Tak peduli orang itu ia kenal atau tidak, pokoknya disapa atau ditanyai. Agak terkesan sok akrab sih.

Contohnya, tante penjual pulsa akan menanyai saya, ”Berapa nomor HP-nya, Mas?”

Enak aja! Kenal juga enggak, sudah nanya nomor ponsel orang lain. Emang gua cowok apaan?! Read the rest of this entry

Alquran dan Gadget


: Jeng Ratih-ku sayang

 

 

ketika langkah terhenti di pemakaman

pandanganku terlepas di sebuah sudut

seorang laki-laki muda bersimpuh

di dekat makam kerabatnya

 

dikeluarkannya pemutar suara

terlantunlah surat Yasin di dalamnya

wajahnya tertunduk, satu tangannya menengadah

entah apa yang dirasakannya saat itu

 

ketika banyak orang tua lebih peduli

membelikan gadget canggih untuk anaknya

demi alasan modernitas dan kebutuhan zaman

sementara kitab suci dibiarkan berdebu di almari

 

maka saat tiba waktu untuk menghadap Sang Khalik

di pusaranya terdengar ayat suci dari MP3

sebab anaknya lebih fasih teknologi ketimbang membaca kitab suci

sulit terlukis perasaanku melihat pemandangan itu

 

 

Sidoarjo, 20 Juli 2014