Penerbit Mayor Beli Rumah Kartu

OPINI | 08 August 2012 | 17:27 Dibaca: 28   Komentar: 1   Nihil

 

Kerja keras akan berbuah manis. Dalam dua tahun terakhir, saya getol menyuarakan ajakan untuk menulis di berbagai sekolah, lembaga pendidikan, dan perguruan tinggi. Terutama, berani menerbitkan karya sendiri (self publishing). Hal ini bukan tanpa tujuan.

Mengingat sengitnya persaingan untuk menembus penerbit mayor, banyak naskah yang sebenarnya bagus menemui jalan buntu dalam hal publikasi.  Hal ini tak kurang membuat banyak penulis pemula yang putus asa. Mereka seakan tak lagi bergairah menulis tatkala tahu naskahnya ditolak penerbit.

Spirit untuk menggapai asa memiliki buku karya sendiri pun mesti dikubur dalam-dalam. Tak sedikit yang mengeluhkan hal tersebut. Merasa tergerak, saya memberikan motivasi dengan menawarkan solusi untuk berani menerbitkan sendiri buku-buku karya mereka.

Di tengah kemajuan teknologi seperti sekarang, tidak sulit mencari jasa penerbitan mandiri atau self publishing. Penulis terkenal Jonru itu saja memulai sukses menulisnya dari self publishing. Perusahaan jasa semacam itu kini pun bertebaran. Di antaranya, Leutika Prio, dapurmenulis.com, dan banyak lagi.

Keunggulannya, penulis tak perlu repot-repot karena masalah teknis seperti desain sampul, tata letak (lay out), hingga percetakan sudah satu paket. Penulis pun bisa meminta desain sesuai dengan keinginan.

Yang menyenangkan, dengan adanya teknologi cetak digital, penulis bisa mencetak bahkan cuma satu eksemplar sekalipun! Menyesuaikan isi kantong.

Lazimnya, self publishing juga disebut penerbitan indie. Kendati indie, penulis tak perlu berkecil hati naskahnya tidak diterbitkan penerbit mayor. Sebab, belum tentu naskah itu kurang baik. Pasalnya, ada aturan main tersendiri di tiap-tiap penerbit tentang kelayakan suatu naskah. Dan ini yang penting di kalangan penerbit mayor: layak jual alias punya nilai komersial.

Di tengah persaingan ketat merebut perhatian penerbit besar, konsekuensinya adalah ada naskah yang terlempar alias tidak masuk dalam hitungan layak terbit. Dalam sebuah bisnis, hal ini tentu biasa. Namun, bagi mereka yang baru pertama mencoba mengirimkan naskah buku, penolakan berarti mimpi buruk. Karena itulah, saya gencar memberikan spirit, terutama kepada para mahasiswa dan guru, untuk berani unjuk gigi dalam berkarya. Langkahnya: self publishing.

Di sisi lain, bisa saja naskah yang telah diterbitkan secara indie dilirik oleh penerbit mayor. Inilah yang saya alami.

Baru-baru ini, saya merilis buku puisi Rumah Kartu pada Juli silam. Sekitar seratus lebih puisi saya yang berserakan di mailing list Keluarga Unesa dan Klub Guru Indonesia (kini Ikatan Guru Indonesia) saya kumpulkan. Saya lantas berniat menerbitkannya secara indie dengan memakai bendera Must Prast Publishing.

Ini bukan yang pertama saya menerbitkan buku secara indie. Saya telah melakukannya kali pertama pada 2008 untuk antologi puisi Mahabbah dan yang kedua bersama Dudung Kurnia Sundana dalam buku Karena Ukhuwah Begitu Indah (2011).

Berberkal pengalaman itu, saya lantas mengontak Abdur Rohman, sahabat saya yang piawai dalam bidang ini, untuk membantu proses desain sampul hingga tata letak. Dalam tempo yang bisa dibilang singkat, jadilah buku Rumah Kartu itu. Sedianya buku ini akan saya jadikan hadiah untuk ulang tahun istri saya pada September nanti.

Namun, melihat isinya yang memotret kehidupan dari berbagai lini sosial kemasyarakatan, saya menilai buku ini punya sisi komersial alias layak jual. Apalagi, di dalamnya saya meminta endorsement dari penulis terkenal seperti Sirikit Syah dan Luthfiyah Nurlaela. Hanya modal nekat, saya memutuskan untuk menjualnya seharga Rp 30 ribu. Promosi baru saya lakukan di jejaring sosial dan mailing list. Banyak permintaan yang masuk. Belum ratusan memang, baru puluhan.

Karena sebenarnya buku ini belum dicetak dalam jumlah banyak, saya belum sempat membalas semua permintaan yang masuk. Dengan sedikit upaya dan memanfaatkan link sesama penulis, ada investor yang melirik buku indie ini. Ia menyatakan tertarik dan sanggup mencetaknya dalam skala agak besar.

Ia ternyata tak sekadar investor, tapi punya perusahaan penerbitan mayor. Dia bilang buku itu bagus. Sistem bagi hasilnya pun betul-betul menguntungkan penulis, tidak seperti kebanyakan penerbit mayor lainnya. Tentu saja saya amat bersyukur dengan hal ini. Ingin rasanya berjingkrak-jingkrak, bernorak-norak, berlari-lari keliling gang kompleks, wis pokoke kumat edane.

Di tengah puncak kegembiraan itu, sang pengusaha secara terus terang punya keinginan untuk menerbitkan tulisan-tulisan saya yang lain yang terkait dengan pendidikan, khususnya jurnalistik yang merupakan bidang saya. Wow!!!

Intinya, jangan berkecil hati meski buku Anda terbit secara indie. Jika memang bagus, yakinlah suatu saat bisa memetik hasil yang baik. Yang penting, tetap menulis dan produktif berkarya. Tidak selalu buku dengan penerbit mayor lebih baik dan bermutu ketimbang buku indie.

Jika beruntung, bisa saja buku indie itu akan dilirik dan dibeli oleh penerbit mayor. Seperti yang saya alami sekarang. Efeknya dahsyat! Ehm, sulit dilukiskan sih. Tapi yang jelas rasanya ingin berjingkrak-jingkrak, bernorak-norak, berlari-lari keliling gang kompleks, wis pokoke kumat edane. Selamat berkarya dan salam cemungud!

 

 

Graha Pena, 8 Agustus 2012

https://mustprast.wordpress.com

 

 

 

Tinggalkan komentar