Eureka Academia (5)

Spirit Archimedes

Catatan Must Prast

Head of Training Division Eureka Academia

Para penggemar fisika pasti tidak asing dengan prinsip pengapungan di atas benda cair. Yup, itulah hukum Archimedes. Ilmuwan Yunani tersebut mengamati gaya berat dan gaya ke atas suatu benda jika dimasukkan ke dalam air.

Hukum Archimedes berbunyi: Suatu benda yang dicelupkan sebagian atau seluruhnya ke dalam zat cair akan mengalami gaya ke atas yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindahkan oleh benda tersebut.

Rumusnya: FA =  ρa x Va x g

FA =  Gaya keatas yang dialami benda (N)

ρa=  Massa Jenis zat cair (kg/m3)

Va=  Volume air yang terdesak (m3)

g= Percepatan Gravitasi (m/det2)

Artinya, gaya berat dan gaya ke atas akan memengaruhi sebuah benda bisa tenggelam, terapung, ataupun melayang di dalam air. Dikutip dari buku Sains Menyenangkan, berdasar hukum Archimedes, ada tiga prinsip dasar lain.

1. Benda akan terapung jika massa jenis benda yang dimasukkan ke dalam air lebih kecil daripada massa jenis zat cairnya.

2. Benda akan melayang jika massa jenis benda yang dimasukkan ke dalam air sama dengan massa jenis zat cairnya.

3. Benda akan tenggelam jika massa jenis benda yang dimasukkan ke dalam air lebih besar daripada massa jenis zat cairnya.

Aplikasi hukum itu pada zamannya adalah pembuatan sebuah kapal. Archimedes membuat kapal paling besar di masanya. Agar kapal tersebut tidak tenggelam, dia membuat pompa spiral yang dikenal dengan sebutan Sekrup Archimedes (erabaru.net).

Untuk mengabadikan pemikiran dan penemuannya, Archimedes yang juga ahli matematika itu menulis beberapa buku. Di antaranya, On the Measurement of a Circle dan On Spirals. Buku-bukunya juga dijadikan panduan oleh ilmuwan terkenal lain seperti Galileo Galilei (1564-1642) dan Johannes Kepler (1571-1630).

Namun, ada hal lain yang menarik dari sosok Archimedes. Ia lahir di Syracuse (kini Pulau Sisilia, masuk wilayah Italia) pada 287 SM dan wafat pada 212 SM. Sejak muda ia dikenal suka melakukan banyak percobaan sains. Tak pelak, ia dijuluki Bapak Eksperimen lantaran penemuannya berdasar percobaan.

Suatu ketika Raja Hiero II penasaran dengan mahkotanya. Ia bertanya-tanya apakah mahkota tersebut betul-betul dibuat dari emas murni atau terdapat campuran perak. Ia tidak yakin dengan si pembuatnya. Hiero II memerintah di Kerajaan Syracuse (Sisilia) dan merupakan paman Archimedes. Karena tahu bahwa keponakannya amat pandai, Hiero II memintanya untuk menjawab rasa penasarannya.

Archimedes pun kebingungan. Namun, ia tak menyerah begitu saja. Semakin bingung, semakin bertambah rasa penasarannya. Saat makan, ia masih berpikir untuk mencari jawabannya. Nah, ketika berendam di bak mandi, dia melihat air di dalam bak tumpah keluar sebanding dengan besar tubuhnya. Ia sadar efek itu dapat dipakai untuk menghitung volume dan isi mahkota tersebut. Caranya, berat mahkota dibagi dengan volume air yang dipindahkan. Dengan begitu, kerapatan dan berat jenis mahkota bisa diperoleh. Akhirnya, ia bisa menyimpulkan bahwa berat jenis mahkota bakal lebih rendah daripada berat jenis emas murni jika pembuat mahkota tersebut bertindak curang dan menambahkan perak ataupun logam dengan berat jenis yang lebih rendah.

Saking senangnya bisa menemukan teori itu, Archimedes melompat keluar dari bak mandi dan lari keluar. Ia lupa bahwa dirinya sedang tidak berbusana alias telanjang bulat. Di jalan-jalan yang dilewati, ia berlari girang sambil berteriak, ”Eureka!” yang artinya ketemu atau saya menemukannya.

Spirit Archimedes inilah yang ingin kami tanamkan kepada para siswa Eureka Academia. Seperti dalam pelatihan menulis di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pada 27 November lalu, kepada beberapa santri-santriwati, saya tak sekadar memandu. Saya juga memberikan tugas kepada mereka untuk mencatat pengalaman penting saat mengikuti pelatihan fotografi yang dipandu oleh Tedy, fotografer dan instruktur fotografi asal Jakarta. Tulisan tersebut termasuk mengarang bebas.

Namun, mereka harus bisa mengambil salah satu poin menarik. Misalnya, menjepret sesuatu dengan kamera ponsel beresolusi 1,3 megapiksel dengan hasil yang ciamik dan tak kalah dengan hasil jepretan kamera digital. Semua itu saya minta untuk dicatat. Setelah berkoordinasi dengan pihak sekolah, saya berharap agar seluruh hasil tulisan bebas mereka dapat dibukukan.

Apakah tuntas sampai di situ? Belum! Pengalaman fotografi yang mereka dapatkan bisa dibilang langka di Madura. Untuk itu, buku karya mereka nanti harus bisa disebarkan sehingga menginspirasi kader-kader muda di Pulau Garam tersebut. Ini tentu bisa menjadi pasar tersendiri.

Sebelumnya, saya memberikan contoh sederhana membuat karangan bebas sebagai tahap paling awal menuju tingkat mahir. Misalnya, membebaskan pikiran dari segala beban, tidak merasa tersekat dengan aturan baku atau struktur kalimat, membuat deadline agar tertib, serta membuat beberapa kata kunci untuk memudahkan pemaparannya (outline).

Tentu masing-masing akan punya pengalaman menarik dari pelatihan fotografi tersebut. Bisa jadi salah satu kisah mereka merupakan hal yang belum pernah dialami oleh yang lainnya. Hal inilah tak boleh dibiarkan menguap begitu saja. Harus dituliskan atau lenyap tak berbekas.

Ilmu itu harus diikat atau ditulis. Dengan bekal pelatihan menulis yang telah mereka dapatkan, diharapkan anak-anak remaja tersebut bisa langsung mengaplikasikannya saat mengikuti pelatihan fotografi. ”Apa yang mesti saya catat, Pak?” tanya seorang santri. Saya jelaskan bahwa dari pelatihan itu misalnya ada yang melakukan serangkaian percobaan dengan memotret salah satu objek dengan menggunakan kamera kualitas VGA (lebih rendah daripada resolusi 1,3 megapiksel).

”Ciptakan teknik lain yang hasilnya bisa lebih menarik dengan keterbatasan kamera ponsel itu,” tegas saya. Semua mencatat hal yang remeh temeh, semua mencatat poin-poin penting yang disampaikan narasumber, dan semua membuat catatan kecil berdasar pengamatan dan praktik tiap-tiap santri-santriwati.

Jika dikumpulkan dalam satu buku, hasilnya pasti menarik. Buku ini akan menjadi tonggak sejarah buat mereka yang belum pernah menelurkan karya. Karena itu, karya tersebut harus dibuat secara maksimal agar memiliki nilai jual. Seperti halnya Archimedes, apabila semua itu terwujud, kami akan bergembira bersama, ”Eureka…!” Namun, tentu saja tetap memakai sarung.

Sidoarjo, 1 Desember 2012

Sumber: erabaru.net

Tinggalkan komentar