Mabuk Cinta ala Satria Dharma


Catatan Must Prast

tinggal di: https://mustprast.wordpress.com

Arek Suroboyo sudah sejak lama dikenal dengan militansinya. Sejak zaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Kita mungkin tidak lupa akan cerita heroik tentang perobekan bendera merah putih biru milik Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). Di Surabaya pula Brigadir Jenderal Mallaby tewas setelah mobilnya digranat oleh pemuda Surabaya di kawasan Jembatan Merah. Peristiwa inilah yang memicu kemurkaan pihak Belanda.

Rakyat Surabaya pun diultimatum oleh Belanda dan Sekutu. Pamflet-pamflet ultimatun itu dijatuhkan dari pesawat udara milik Sekutu. Pada 10 November 1945 pukul 06.00, seluruh warga Surabaya diminta untuk mengangkat tangan dan menyerahkan senjata mereka. Ancaman itu dianggap angin sepi oleh arek-arek Surabaya. Bahkan, lewat corong RRI, Bung Tomo mengobarkan semangat tempur mengusir Belanda dan Sekutu di Surabaya. Dia mengimbau seluruh pemuda Surabaya untuk mengangkat senjata dan mempertahankan setiap jengkal tanah republik ini di wilayah Surabaya. Di akhir pidatonya yang begitu heroik, Bung Tomo menutupnya dengan kalimat ”Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar…”  Menggelegar dan membakar spirit tempur.

Pagi hari 10 November 1945, pasukan NICA membuktikan ancamannya. Surabaya digempur dari darat, laut, dan udara. Para pemuda Surabaya yang kebetulan berada di luar daerah kontan kembali ke Surabaya untuk ikut bertempur. Kendati kalah dalam hal hardware perang, nyali arek-arek Suroboyo tidak ciut sekalipun. Kendati, mereka mesti memanggul bambu runcing karena terbatasnya perangkat senjata di pihak Surabaya. Di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya, kini berdiri kokoh Tugu Bambu Runcing untuk menghormati keberanian dan militansi pemuda Surabaya.

Pertempuran berlangsung kurang lebih sebulan. Tak kurang ratusan ribu korban jatuh di kedua pihak. Korban paling banyak jatuh di pihak masyarakat Surabaya. Namun, sejarah mencatat, inilah pertempuran paling dahsyat di Indonesia. Untuk mengenangnya, pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Bung Tomo pernah menyatakan bahwa pertempuran itu adalah bentuk cinta rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. ”Walaupun, kami mesti menggunakan bambu runcing untuk menghadapi peralatan perang canggih dan moderan milik musuh,” tutur Cak Rus (Roeslan Abdoelgani, tokoh pemuda Surabaya, Red) suatu ketika. Mereka bertempur seperti dimabuk cinta. Senjata menjadi kekasih bagi para pejuang kala itu. Tak heran, di waktu senggang, mereka menyempatkan diri untuk sekadar mengelap atau membersihkan senjatan masing-masing.

Kini militansi pemuda Surabaya bergeser ke lapangan hijau. Yang sayangnya, militansi tersebut justru menuai banyak kritik. Mereka dikenal sebagai Bonek (Bondo Nekat, julukan suporter klub Persebaya Surabaya). Dalam mendukung tim kesayangannya, para suporter Bonek dikenal begitu militan, liar, dan tak jarang bikin rusuh. Mereka tak segan naik ke atas atap kereta api yang akan membawa mereka ke kota tempat Persebaya akan bertandang. Menantang maut seolah dianggap biasa. Tak heran, ada saja Bonek yang tewas entah karena jatuh dari atas kereta api atau berkelahi dengan suporter tim lain. Namun, sebagaimana dikatakan mantan Manajer Persebaya Saleh Ismail Mukadar, itulah bentuk cinta Bonek kepada Green Force (sebutan Persebaya Surabaya). Mereka habis-habisan, bahkan sampai titik darah terakhir, demi mendukung Persebaya seperti dimabuk cinta.

Satria Dharma, ketua umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), juga memiliki militansi khas arek Suroboyo. Namun, milintasi itu ditunjukkannya dalam bentuk lain yang positif: membaca dan menulis.

Sejak kecil, bapak tiga anak itu tak canggung untuk melahap bacaan buku-buku tebal hingga menemaninya tidur sebagai bantal. Satria mengaku, saat remaja ia hobi nongkrong ke toko buku Gunung Agung. Bukan sekadar nongkrong, tapi membaca buku-buku yang menarik perhatiannya. ”Saking asyiknya membaca, sampai tak sadar tokonya mau tutup,” ucapnya suatu ketika. Hingga ia tak jarang disindir oleh pegawai toko buku tersebut karena jam nongkrongnya hampir menyaingi jam kerja para karyawan toko buku itu.

Kelak kebiasaan membaca tersebut ditularkan Satria ke keluarganya. Lewat sustainable silent reading di ruang makan yang dilakukan setiap habis salat Subuh berjamaah. Program yang sukses karena kini anak-anaknya juga sama militannya dalam hal membaca. Yubi, putra kedua Satria, bahkan tak canggung melahap buku yang tebelnya buju bunek, lebih dari 500 halaman.

Bagaimana dengan menulis? Jangan tanya! Satria adalah orang yang amat loyal dalam arti membagi pengetahuan dan pengalamannya lewat tulisan. Semua itu dituangkannya dalam dua blognya. Yakni, http://satriadharma.com dan http://satriadharma.wordpress.com. Yang satu berbayar dan satunya lagi gratis. Banyak hal yang ditulisnya, mulai masalah keluarga, pendidikan, agama, hingga catatan jalan-jalannya ke berbagai daerah dan luar negeri.

Begitu militan, sampai hal-hal kecil terdetail bisa ia ceritakan. Ia juga dikenal sebagai pria yang amat humoris dan menular ke beberapa tulisannya. Sehingga artikel-artikelnya begitu segar dan enak dibaca. Nggak bikin bosen.

Karena militansinya dalam menulis, tak terasa sudah ratusan tulisan mewarnai blognya. Menulis adalah bentuk cinta Satria untuk mensyukuri hidup ini. Hingga akhirnya Satria berniat membukukannya. “Something to remember at birthday,” kata Satria. Ya, buku itu menjadi kado ulang tahunnya yang ke-54 pada 2 Desember 2011.

Militansi dalam membaca dan menulis itu ditunjukkan Satria dalam bukunya, for the Love of Reading dan Writing. Semua ide, tanggapan, dan pengalaman Satria tumplek bleg di situ. Ada senang, haru, dan humor di sana. Buku yang merangkum mabuk cinta ala Satria Dharma. Sayangnya, buku ini dicetak secara terbatas, cuma 200 eksemplar. Sebagai suvenir untuk kolega, teman, dan keluarga, kata Satria.

”Selamat ulang tahun Pak Satria; guru, anggota keluarga, dan sahabat baik saya. Semoga keberkahan hidup senantiasa dilimpahkan oleh Allah SWT kepada Anda sekeluarga.”

Graha Pena, 2 Desember 2011

About Eko Prasetyo

Mari Beramal lewat Ilmu

Posted on Desember 2, 2011, in Menulis and tagged , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar