Merekam dengan Kata-Kata


Catatan Must Prast

alumnus Sastra Indonesia IKIP Surabaya

Setelah sempat tertunda, akhirnya naskah buku puisi ini rampung juga. Judulnya Merekam dengan Kata-Kata. Yang istimewa, judul ini diberikan langsung oleh Sirikit Syah, sastrawan asal Surabaya.

Sekian tahu lalu, ia menulis kumpulan puisi yang berjudul Memotret dengan Kata-Kata. Itu sebetulnya catatan perjalanan Sirikit ke mancanegara dan perjalanan sepenggal hidupnya. Karena ia tidak bisa memotret menggunakan kamera dan lebih suka menikmati alam dengan mata daripada lewat lensa kamera, semua yang ia saksikan dan ia alami dipotret menggunakan kata-kata.

”Membaca kumpulan puisi dan esai Eko, saya ingin memberinya judul Merekam dengan Kata-Kata. Ya, Eko merekam segala sesuatu, setiap detik hidupnya, setiap desah napasnya, setiap cangkir kopi bikinan istrinya, setiap lembar buku yang dibacanya, semua direkam dalam kata-kata,” ujar ibu dua anak tersebut.

”Efeknya luar biasa. Hidup seperti benar-benar hidup di tangan Eko. Cinta seperti menemukan wahananya. Puisi-puisinya yang sederhana namun super duper romantis, romantisme yang bersahaja, membuat pembaca iri sekaligus terpacu bahwa seharusnya semua pencinta bisa menuliskan perasaannya seperti itu,” lanjut penggagas Stikosa Media Award tersebut.

Suhardi, penulis buku asal Jawa Tengah, turut memberikan komentar untuk buku Merekam dengan Kata-Kata ini. ”Jeng Ratih adalah seorang guru, maka secara karikatural Eko sedang memuja guru,” tegas kepala SMAN 1 Sumber, Kabupaten Rembang, itu.

Namun, cerpenis Jawa Timur Luthfiyah Nurlaela menangkap hal lain. Menurut perempuan cantik tersebut, Merekam dengan Kata-Kata bukan hanya buku yang berisi puisi-puisi romantis belaka. ”Ini juga bukti betapa luar biasa komitmen Eko dalam dunia literasi,” tegasnya.

Sejatinya, Memotret dengan Kata-Kata saya buat untuk kado ulang tahun keempat pernikahan saya dan nyonya yang jatuh awal Maret 2013. Seperti dikatakan Sirikit dan Luthfiyah, buku ini tidak sekadar berisi sekeranjang cinta. Lebih dari itu, saya membawa misi kampanye literasi.

Bersama Ketua Umum IGI Satria Dharma, kami memulainya di SMAN 5 Surabaya. Satria yang juga konsultan di sekolah favorit di Jawa Timur tersebut mencetuskan program membaca buku selama 20 menit sebelum pelajaran dimulai. Program berjalan baik. Bahkan, antusiasme dan semangat siswa berlipat-lipat dari hari ke hari.

Setelah membaca, tentu saja menulis. Di kesempatan ini, saya membimbing mereka untuk berani menelurkan karya. Hasilnya adalah buku Golden Generation yang terbit akhir tahun 2012. Buku ini menjadi kebanggaan sekolah itu. Bersama Satria pula, kami menggaungkan kampanye membaca dan menulis lewat sekolah menulis Eureka Academia yang berbasis di Kota Pahlawan. Kami mengemas membaca dan menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan sekaligus bermanfaat.

Demikian pula buku Merekam dengan Kata-Kata ini. Kendati ditujukan sebagai momentum HUT ke-4 pernikahan saya dan Ratih Prasetyo, sejatinya misi literasi tersebut juga tersisip.

Buku puisi sekaligus menjawab tantangan buku Satria yang berjudul Twenty Years of Joy and Happiness. Ya, bapak tiga anak itu pada akhir 2012 menelurkan buku tersebut sebagai momentum ke-20 tahun pernikahannya yang mencengangkan: selalu hepi!

Saya dan Satria punya jalan sendiri-sendiri dalam mengemas kampanye budaya membaca dan menulis. Namun, ada kesamaan: semua dimulai dari upaya meluangkan waktu untuk menulis di mailing list ataupun blog.

Khusus untuk Merekam dengan Kata-Kata, saya ingin buku ini juga menjadi nostalgia kelak di masa tua bersama nyonya. Bahwa di setiap perjalanan kami membangun bahtera, ada kisah-kisah kecil dan sederhana yang sempat saya rekam. Agar itu tidak hilang di ruang memori, saya mengabadikannya lewat puisi. Seperti yang terangkum dalam puisi Nostalgia.

Nostalgia

: Jeng Ratih-ku sayang

tentu saja selalu ada rasa untuk menghabiskan liburan

bersamamu di kota yang sama-sama kita sukai

tentu saja selalu ada keinginan untuk menghabiskan liburan

denganmu di tempat yang sama-sama kita kagumi

namun, kali ini aku ingin menikmatinya berdua denganmu

di teras rumah, sekadar duduk dan menikmati secangkir teh

menghirup aroma hujan; menciptakan nostalgia

Graha Pena, 26 Februari 2013

Jika Tuhan masih memberikan kesempatan menghirup udara dunia ini, saya berharap bisa membaca buku ini kembali 10 atau 20 mendatang. Yang terutama: menyampaikan pesan literasi dalam bentuk puisi-puisi sederhana. Apabila usia ini tak sampai pada tahun-tahun itu, biarlah buku ini yang ”menyampaikan” pesan tersebut sendiri. Bukankah yang tertulis itu akan abadi?

Surabaya, 16 Maret 2013

About Eko Prasetyo

Mari Beramal lewat Ilmu

Posted on Maret 16, 2013, in Catatan Harian. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar